Saturday, June 15, 2013

AKAD AL QORD DALAM PERBANKAN SYARIAH DAN PENGAPLIKASIANYA



  A.  Definisi

  Pengertian Al-Qardh
    Menurut Syafi’i Antonio (1999), qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih   atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharap imbalan. Menurut Bank Indonesia (1999), qardh adalah akad pinjaman dari bank (muqridh) kepada pihak tertentu (muqtaridh) yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai pinjaman.1
     Kata qardh ini kemudian diadopsi menjadi crade (Romawi), credit (Inggris), dan Kredit (Indonesia). objek dari pinjaman qardh biasanya adalah uang atau alat tukar lainnya (Shaleh, 1992), yang merupakan transaksi pinjaman murni tanpa bunga ketika peminjam mendapatkan uang tunai dari pemilik dana (dalam hal ini bank) dan hanya wajib mengembalikan pokok utang pada waktu tertentu di masa yang akan datang. Peminjaman atasa prakarsa sendiri dapat mengembalikan lebih besar sebagai ucapan terimakasih.2

        2. Pengertian Al-Qardh Al-Hasan

Secara umum, Qardh Hasan diartikan sebagai infak di jalan Allah, di dalam jihad dan peperangan demi menegakkan kebenaran dan bersedekah kepada para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Ada juga yang mengatakan: Qardh Hasan itu adalah amal shaleh muthlaqon yang mana dia adalah bentuk transaksi pinjaman yang benar-benar bersih dari tambahan/bunga.
Pengertian “al-hasan” disini adalah ketika seorang muslim meminjamkan atau menginfakkan sesuatu yang ada pada dirinya hendaklah dia mengeluarkan sesuatu yang elok tanpa cela. Maka Qardh hasan itu pada dasarnya adalah sedekah yaitu pekerjaan yang mulia dengan mengharapkan keredhoan Allah semata

       3. Pengertian Qardh Lintas Fiqih

Secara syar’i para ahli fiqh mendefinisikan Qardh:
      Menurut pengikut Madzhab Hanafi , Ibn Abidin, mengatakan bahwa suatu pinjaman adalah apa yang dimiliki satu orang lalu diberikan kepada yang lain kemudian dikembalikan dalam kepunyaannya dengan baik hati.
Menurut Madzhab Maliki mengatakan Qardh adalah Pembayaran dari sesuatu yang berharga untuk pembayaran kembali tidak berbeda atau setimpal.
Menurut Madzhab Hanbali Qardh adalah pembayaran uang ke seseorang siapa yang akan memperoleh manfaat dengan itu dan kembalian sesuai dengan padanannya.
Menurut Madzhab Syafi’i Qardhadalah Memindahkan kepemilikan sesuatu kepada seseorang, disajikan ia perlu membayar kembali kepadanya.

4.   Landasan Hukum

  Al-Qur’an
        Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.(Al-Baqarah : 245)
Yang menjadi landasan dalil dalam ayat ini adalah kita diseru untuk “meminjamkan kepada Allah”, yaitu untuk membelanjakan harta di jalan Allah. Berbanding lurus dengan meminjamkan kepada Allah, kita juga diseru untuk “meminjamkan kepada sesama manusia”. Sebagai bagian dari hidup yang berkeimanan kepada Allah dengan bersikap saling tolong menolong dalam kehidupan bermasyarakat.
Al-Hadits
      Dari Anas ra, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Pada malam peristiwa Isra’ aku melihat di pintu surga tertulis ’shadaqoh (akan diganti) dengan 10 kali lipat, sedangkan Qardh dengan 18 kali lipat, aku berkata : “Wahai jibril, mengapa Qardh lebih utama dari shadaqoh?’ ia menjawab “karena ketika meminta, peminta tersebut memiliki sesuatu, sementara ketika berutang, orang tersebut tidak berutang kecuali karena kebutuhan”. (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi dari Abas bin Malik ra, Thabrani dan Baihaqi meriwayatkan hadits serupa dari Abu Umamah ra).
Ijma’
Para ulama  menyatakan bahwa Qardh diperbolehkan. Qardh bersifat mandub (dianjurkan) bagi muqridh (orang yang mengutangi) dan mubah bagimuqtaridh (orang yang berutang) kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorangpun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.

5.   Rukun dan Syarat

Rukun:
     a)      Muqridh (pemilik barang)
     b)      Muqtaridh (yang mendapat barang atau peminjam)
     c)      Ijab qabul 
     d)   Qardh (barang yang dipinjamkan)
Syarat sah qardh :
     a)     Qardh atau barang yang dipinjamkan harus barang yang memiliki manfaat, tidak sah jika tidak ada
           kemungkinan pemanfaatan karena qardh adalah akad  terhadap harta.
     b)      Akad qardh tidak dapat terlaksana kecuali dengan ijab dan qabul seperti halnya dalam jual beli.


6.    Aplikasi dalam Perbankan

Qardh adalah pinjaman uang. Pinjaman qardh biasanya diberikan oleh bank kepada nasabahnya sebagai fasilitas pinjaman talangan pada saat nasabah mengalami overdraft. Fasilitas ini dapat merupakan bagian dari satu paket pembiayaan lain, untuk memudahkan nasabah bertransaksi. Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal:
 Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatan haji.
Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik Bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikan sesuai waktu yang ditentukan.
Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil dimana menurut perhitungan Bank akan memberatkan si pengusaha bila diberi pembiayaan dengan skema jual-beli Ijarah atau bagi hasil.
Sebagai pinjman kepada pengurus Bank, dimana Bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus Bank. Pengurus Bank akan mengembaliaknnya secara cicilan melalui pemotongan gajinya.
Berdasarkan definisi di atas kita dapat menyimpulakan bahwa qardh dipandang dalam berbagai perspektif, mulai dari istilah secara bahasa sampai pada hukum syara’nya adalah kontradiksi dengan Bank yang notabenenya bergerak dibidang jasa yang senantiasa menginginkan laba atau secara implisit dapat dikatakan bergerak dibidang komersialisasi jasa.
Dalam perihal tersebut Bank diperkenankan mengenakan biaya administrasi, sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional NO: 19/DSN-MUI/IV/2001 Tentang Al-Qardh yang memperbolehkan untuk pemberi pinjaman agar membebankan biaya administrasi kepada nasabah. Dalam penetapan besarnya biaya administrasi sehubungan dengan pemberian qardh, tidak boleh berdasarkan perhitungan persentasi dari jumlah dana qardh yang diberikan.

7.    Manfaat Al-Qardh 

a. Memungkinkan nasabah yang sedang dalam kesulitan mendesak untuk mendapat talangan jangka pendek    
 b. Al-qardh al-hasan juga merupakan salah satu ciri  syariah dan bank konvensional yang didalamnya terkandung pembeda antara bank misi social, disamping misi komersial.

c. Adanya misi kemasyarakatan ini akan meningkatkan citra baik dan meningkatkan     loyalitas masyarakat kepada bank syariah
Dilihat dari definisi diatas, maka pinjaman dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu pinjaman seorang hamba untuk Tuhan-Nya dan pinjaman seorang muslim untuk saudaranya.
Risiko al-qardh terhitung tinggi karena ia di anggap pembiayaan yang tidak ditutup dengan jaminan.

8 .Sumber dana 

      Sifat qardh tidak memberikan keuntungan finansial. Karena itu, pendanaan qardh dapat diambil menurut kategori berikut:

      Al-qardh yang diperlukan untuk membantu usaha sangat kecil dan keperluan social, dapat bersumber dari dana zakat, infaq, dan sedekah.
      Al-qardh yang diperlukan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat dan berjangka pendek. Talangan dana di atas dapat diambilakan dari modal bank.
Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah
Di antara keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional No. 29/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah









DAFTAR PUSTAKA

Antonio Syafi’I. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001
Antonio Syafi’I. Bank Syariah, PT Ekonisia, Yogyakarta; 2006
Ascaya. Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta: PT Ekonosia, 2003
Yaya, Rizal. Abdurrahim, Ahim. Akuntansi Perbankan Syariah; Teori dan Praktik Kontemporer, Jakarta: Salemba Empat, 2009








IMPLEMENTASI ROHN DLAM PERBANKAN SYARIAH



A. Pengertian Gadai (rahn)

Dalam istilah bahasa arab, gadai di istilahkan dengan rahndan dapat juga di namai al habsu {Pasaribu, 1996:139). Secara etimologis, arti rahn adalah tetap dan lama, sedangkan al-habsuberarti penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat di jadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut (Syafe’i,2000:159).
Sedangkan menurut Sabiq (1987 :139), rahnadalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil sebagian manfaat barangnya itu. Pengertian itu di dasarkan kepada praktek bahwa apabila seseorang ingin berhutang kepada orang lain, ia menjadikan barang miliknya baik berupa barang tak bergerak atau berupa barang ternak berada di bawah penguasaan pemberi pinjaman sampai penerima pinjaman melunasi hutangnya.
`Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam kitab Al Mugni adalah sesuatu benda yang di jadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari hargannya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari yang berpiutang. Sedangkan Imam Abu Zakaria al Anshary dalam kitabnya Fathul Wahab mendefisikan rahn adalah menjadikan benda yang bersifat harta benda sebagai kepercayaan dari suatu yang dapat di bayarkan.dari harta benda itu jika utang itu tidak dibayar (Sudarsono, 2003: 157).
Dari pengertian-pengertian di atas dapat dismpulkan bahwa pengertian rahn adalah menahan harta salah satu milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.

B. Landasan Syariah

Boleh tidaknya transaksi gadai menurut Islam diatur dalam Al-Qur’an, sunnah dan ijtihad:
1. Al Qur’an
Q.S. Al Baqarah : 283
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). (Q.S. Al Baqarah :283)
[180] barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.
Ayat tersebut menjelaskan “ barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”. Dalam dunia finansial, barang tanggungan bisa dikenal sebagai jaminan/collateral atau objek pegadaian.
2. Assunah
“Dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah membeli makanan dari seorang Yahudi dan menjaminkan kepadanya baju besi”.(H.R. Bukhari)
Menurut kesepakatan ahli fiqh, peristiwa Rasulullah saw, me-rahn kan baju besinya itu adalah kasus rahn pertama dalam Islam dan dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw.
Dari Abu Hurairah r.a. Nabi Muhammad SAW bersabda:“tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya”. (H.R. Asy’Syafii, al Daruquthni dan Ibnu Majah).
3. Ijtihad
Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun waktu bepergian, berargumentasi kepada perbuatan Rasulullah SAW terhadap riwayat hadis tentang orang yahudi tersebut di Madinah. Adapun keadaan dalam perjalanan seperti ditentukan dalam QS Al Baqarah: 283, karena melihat kebiasaan dimana pada umumnya rahn dilakukan pada waktu bepergian (Sayyid Sabiq, 1987: 141). Adh-Dhahak dan penganut madzhab Az-Zahri berpendapat bahwa rahn tidak disyariatkan kecuali pada waktu bepergian.
Asy-Syafi’I mengatakan Allah tidak menjadikan hokum kecuali dengan barang berkriteria jelas dalam serah terima. Madzhab Maliki berpendapat, gadai wajib dengan akad (setelah akad) orang yang menggadaikan (rahn) dipaksakan untuk menyerahkan borg (jaminan) untuk dipegang oleh yang memegang gadaian (murtahin).

C. Rukun Gadai Syariah

Dalam menjalankan pegadaian syariah, pegadaian harus memenuhi rukun gadai syariah. Rukun gadai tersebut antara lain:
1. Ar-Rahin (yang menggadaikan)
Orang yang telah dewasa umurnya, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang digaadaikan.
2. Al-Murtahin (yang menerima gadai)
Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai)
3. Al-Marhun (barang yang digadaikan)
Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan utang.
4. Al-Marhun bih (utang)
Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun.
5. Sighat, ijab dan qabul
Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai.

D. Syarat Gadai Syariah

1. Rahin dan Murtahin
Pihak-pihak yang melakukan perjanjian rahn harus megikuti syarat-syarat berikut kemampuan, yaitu berakal sehat. Kemampuan juga berarti kelayakan seorang untuk melakukan transaksi pemilikan.
2. Sighat
a. Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan suatu waktu di masa depan.
b. Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang seperti halnya akad jual beli. Maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan suatu waktu di masa depan.
3. Marhun Bih (utang)
c. Harus merupakan hak yang wajib diberikan/diserahkan kepada pemiliknya.
d. Memungkinkan pemanfaatan. Jika sesuatu menjadi utang tidak bisa dimanfaatkan, maka tidak sah.
e. Dapat dihitung jumlahnya. Jika tidak dapat diukur rahn itu tidak sah.
4. Marhun (barang yang digadaikan)
Secara umum barang gadai harus memenuhi beberapa syarat, antara lain:
a. Dapat diserah terimakan
b. Bernilai dan bermanfaat
c. Milik rahin (orang yang menggadaikan)
d. Jelas bentuk fisiknya
e. Tidak bersatu dengan barang lain
f. Berupa harta yang bernilai
g. Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.

E. Pemanfaatan Barang Gadaian

1. Pemanfaatan rahin atas borg (barang yang digadaikan)
a)      Rahin tidak boleh memanfaatkan borg tanpa seizing murtahin. Begitu juga sebaliknya murtahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa izin rahin. (pendapat ulama Hanafiah dan Hanabilah)
b)      Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika borg sudah berada ditangan murtahin, rahin mempunyai hak memanfaatkan.
c)      ü Ulama Safi’iah berpendapat bahwa rahin boleh memanfaatkan barang jika tidak menyebabkan borg berkurang, tidak perlu minta izin,seperti mengendarainya, menempatinya dan lain-lain. Akan tetapi jika menyebabkan barang berkurang seprti sawah, kebun, rahn harus meminta izin pada murtahin.
2. Pemanfaatan murtahin atas borg
a)      ü Ulama Hanafiah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan borg sebab dia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya
b) Ulama Malikiyah membolehkan memanfaatkan borg jika diizinkan oleh rahin atau disyaratkan ketika akad dan barang tersebut barang yang dapat diperjualbelikan serta ditentukan waktunya secara jelas.
c) Pendapat ulama Hanabilah berbeda dengan jumhur ulama, mereka berpendapat jika borg berupa hewan, murtahin boleh memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil susunya sekedar pengganti biaya meskipun tidak diizinkan oleh rahin. Adapun borg selain hewan tidak boleh dimanfaatkan kecuali atas ijin rahin.
Menurut Sabiq (1987:141-143), akad gadai bertujuan untuk meminta kepercayaan dan menjamin hutang, bukan mencari keuntungan dan hasil. Tindakan memanfaatkan barang tidak ubahnya adalah seperti qiradh yang mengalirkan manfaat, dan setiap bentuk qiradh mengandung unsur riba, Jika borgnya bukan berbentuk binatang yang bisa ditunggangi atau diambil susunya. Jika berbentuk binatang murtahin bisa memanfaatkan sebagai imbalannya atas memberi makan binatang tersebut. Murtahin dapat mengambil manfaat dari binatang yang dapat ditunggangi seperti unta, kuda, keledai dan sebagainya. Murtahin juga dapat mengambil susu sapi, kambing dan lain sebagainya.

F. Implementasi Rahn dalam Perbankan

Kontrak rain dipakai dalam perbankan dalam dua hal :
1. Sebagai produk pelengkap
Rahin dipakai produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahan (jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai’ al murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut.
2. Sebagai produk tersendiri
Akad rahin dapat digunakan sebagai alternatif dari pegadaian konvensional. Bedanya dengan pegadaian biasa, dalam rahn nasabah tidak dikenakan bunga, yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran.
Perbedaan utama antara biaya rahin dan bunga adalah darin sifat bunga yang bisa terakumulasi dan berlipat ganda, sementara biaya rahin hanya sekali dan ditetapkan diawal.

G. Manfaat ar Rahn (Gadai)

Manfaat yang diambil oleh bank dari prinsip ar rahn adalah:
1. Menjaga kemungkinan nasabah lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan oleh bank.
2. Memberikan keamanan bagi segenap penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang jika nasabah peminjam ingkar atau lalai karena ada suatu asset /barang jaminan yang dipegang bank.
3. Jika rahn ditetapkan dalam mekanisme pegadaian, maka sudah barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana terutama di daerah-daerah.

H. Resiko ar Rahn (gadai)

Adapun resiko yang mungkin terdapat pada rahn apabila penerapan sebagai produk adalah :
1. resiko tak terbayarnya hutang nasabah (wanprestasi)
2. resiko penurunan nilai asset yang ditahan atau rusak
.
I. Berakhirnya Akad Rahn

     Menurut ketentuan syariat bahwa apabila masa yang telah diperjanjikan untuk pembayaran utang telah terlewati yang berhutang berkewajiban membayar hutangnya. Namun seandainya yang berhutang tidak punya kemauan untuk mengembalikan pinjamannya hendaklah ia memberikan izin kepada pemegang gadai untuk menjual barang gadaian. Apabila izin tersebut tidak diberikan oleh yang berhutang maka si penerima gadai dapat meminta pertolongan hakim untuk memaksa orang yang berhutang untuk melunasi hutangnya.
      Apabila pemegang gadai telah menjual barang gadaian tersebut dan ternyata ada kelebihan dari yang seharusnya dibayar oleh yang berhutang, maka kelebihan itu harus dikembalikan. Sebaliknya sekalipun barang gadaian telah dijual dan ternyata belum dapat melunasi hutang si penggadai, maka yang berhutang masih punya kewajiban untuk membayar kekurangannya.
Dapat disimpulkan bahwa akad rahn berakhir dengan hal-hal sebagai berikut :
1. Barang telah diserahterimakan kepada pemiliknya
2. Rahin membayar hutangnya
3. Dijual dengan perintah hakim atas perintah rahin
4. Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin

J. Persamaan dan Perbedaan antara Rahn dan Gadai

Persamaan rahn dan gadai :
1. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang
2. Adanya agunan sebagai jaminan utang
3. Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan
4. Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh pemberi gadai
5. Apabila batas pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang
Perbedaan rahn dan gadai :
1. Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara suka rela atas dasar tolong menolong tanpa mencari keuntungan, sedangkan gadai menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atas sewa modal yang telah ditetapkan.
2. Dalam hukum perdata hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak, sedangkan dalam hukum Islam rahn berlaku pada seluruh harta, baik harta yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Pada hukum perdata positif penjaminan dengan harta tidak bergerak seperti tanah, kapal laut dan pesawat udara disebut dengan hak tanggungan seperti diatur dalam UU no.4 tahun 1996.
3. Di Indonesia penguasaan atas barang yang dijadikan jaminan dibedakan menjadi gadai dan fidusia. Gadai, penguasaan atas barang yang dijadikan jaminan diberikan kepada penerima gadai dan hak milik atas barang yang dijadikan jaminan tetap ada pada pemberi gadai. Sedangkan fidusia, penguasaan atas barang yang dijadikan jaminan diberikan kepada pemberi gadai yang juga sebagai pemilik barang yang digadaikan, seperti diatur dalam UU No.42 tahun 1999 tentang fidusia sebagai jaminan.




.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Ghofur Abdul. 2005. Gadai Syariah di Indonesia Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Antonio, Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema Insani Press.
Dahlan, Abdul Aziz. 2001. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve.
Firdaus, Muhamad. 2005. Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah. Jakarta : Renaisan.
Hasan, M Ali. 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Mas’adi, Ghufron A. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Rifa’I, H Moh. 1978. Fiqh Islam Lengkap. Semarang : CV TOHA PUTRA.
Sjahdeini, Sutan Remi. 1999. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta : PT Temprint.
Sudarsono, Heri. 2005. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi. Yogyakarta : Ekonisia.
Tim Tafsiyah. 2006. Panduan Fiqh Lengkap Jilid 3. Bogor : Pustaka Ibnu Kasir.


WADI`AH DALAM PERBANKAN SYARIAH



A. SEKILAS TENTANG BANK SYARI`AH
Sebelum pemakalah mengungkapkan lebih jauh tentang apa isi bahan pemakalah kali ini yaitu tentang WADI`AH, ada baiknya pemakalah mengupas sedikit tentang sejarah berdirinya perbankan syari`ah sebagai tempatnya Wadi`ah sarana ummat islam dalam pengimpestasian dananya sekaligus tempat penyimpanan dengan alasan keamanan.
Perbankan Syari`ah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaisance Islam modern yaitu NEOREVIVALIS dan MODERNIS.  Tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini adalah sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya yang berlandaskan Al Qur`an dan As Sunnah.
Bank Syari’ah pertama kali muncul pada tahun 1963 sebagai pilot project dalam bentuk bank tabungan pedesaan di kota kecil Mit Ghamr, Mesir. Percobaan berikutnya terjadi di Pakistan pada tahun 1965 dalam bentuk koperasi.
Upaya awal penerapan sistem profit dan los sharing (dalam perbankan syari1ah) adalah yang pertama di Pakistan pada awal bulan Juli tahun 1979.  Tahun 1979-1980 Pakistan mensosialisasikan skema pinjam tanpa bunga kepada Petani dan Nelayan.  Tahun 1981 mulai beroperasi 7000 cabang Bank Komersial Nasional dengan menggunakan sistem syari`ah, dan pada awal tahun 1985 seluruh Perbankan konvensional Pakistan di konversi dengan peraturan baru yaitu Sistem Perbankan Syari`ah.
Di Asia Tenggara sistem perbankan Syari`ah dipelopori oleh Malaysia dengan BIMB (Bank Islam Malaysia Berhad), berdiri tahun 1983 dan akhir tahun 1999 BIMB memiliki +-70 cabang di Malaysia.  Sebelumnya telah dirintis perbankan syari`ah pada dekade 1960 dan beroperasi sebagai RURAL SOCIAL BANK dengan nama MIT GHAMR BANK oleh Prof. Dr. Ahmad Najjar, walaupun kecil namun telah mampu memicu para menlu Negara-negara Islam khususnya anggota OKI untuk melakukan hal yang sama dan telah terjadi beberapa pertemuan, diawali di Pakistan Desember 1970.  Di Benghaji Libya Maret 1973 kembali diagendakan pada sidang menlu Oki yang khusus menangani ekonomi dan keuangan, didukung lagi oleh negara-negara Islam penghasil minyak yang mengadakan pertemuan di Jeddah Juli 1973.
Bulan Mei 1974 Negara-negara Islam dan negara OKI  kembali mengadakan pertemuan tentang Bank Pembangunan Islam atau Islamic Depelopment dan telah-sampai pada penetapan AD/ARTnya, akhirnya di Jeddah 1975 oleh sidang Mentri Keuangan OKI menyetujui pendirian Bank Pembangunan Islamic (Islamic Developmen Bank (IDB) dengan anggota, semua anggota OKI dengan modal awal Rp 2 Miliar Dinar Islam.
Perkembangan Bank Syari`ah di negara Arab dan di Malaysia sangat berpengaruh ke Indonesia.  Awal periode1980-an, mulailah dilakukan diskusi oleh tokoh-tokoh seperti : Karnaen, A. Perwataadmadja, M. Dawam Rahardjo, A.M. Saefuddin, M. Amien Azis dan dilakukan uji coba dalam bentuk bank dengan mendirikan BAITUT TAMWIL SALMAN di Bandung dan bentuk koperasi didirikan koperasi RIDHO GUSTI di Jakarta.
Tahun 1990 diadakan pembahasan lebih khusus tentang bank syari`ah oleh MUI di Cisarua Bogor Jawa Barat dan dilanjutkan pada Munas Mui ke IV di Hotel Sahid Jaya Jakarta tanggal 22 – 25 Agustus 1990 dengan hasil membentuk tim untuk mendirikan Bank Islam Indonesia. Tanggal 1 November 1991 ditanda tanganilah akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia dengan saham 84 miliar rupiah.  1 Mei 1991 Bank Muamalat Indonesia beroperasi setelah Presiden menambah saham Bank  Muamalat Indonesia menjadi Rp 106 126 382 000,00 diwaktu acara silaturrahmi tanggal 3 November 1991 di Bogor.  Semenjak beroperasinya hingga September 1999 BMI telah memiliki 45 Autlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan dan Makasar. 
Bank Syari`ah Mandiri (BSM) adalah bank milik pemerintah yang pertama kali menerapkan landasan operasionalnya dengan landasan syari`ah.  Itu dilakukan setelah bergulirnya masa reformasi dan telah dikeluarkannya UU. No. 10 Thn 1998 tentang landasan hukum dan jenis usaha.  Ada beberapa jenis prodak bank syari`h pada waktu itu yang disosialisasikan namun yang paling menonjol adalah Wadi`ah dan Mudharobah.  Jadi yang akan dibahas pemakalah pada makalah ini adalah WADI`AH (Depository)

B. PENGERTIAN WADIAH

Sebelum penulis melanjutkan pembahasan tentang pengertian wadi’ah, perlu disampaikan bahwa kegiatan penghimpunan dana bank syari’ah mempunyai beberapa produk, yakni: Wadi’ah dalam bentuk giro maupun tabungan, Qardh atau pinjaman kebajikan, dan Mudharabah atau bagi hasil dalam bentuk Deposito. Akan tetapi karena terbatasnya waktu, pada kesempatan ini penulis hanya mengulas tentang wadi’ah.
Pengertian Wadi`ah menurut bahasa adalah berasal dan akar kata Wada`a yang berarti meninggalkan atau titip.  Sesuatu yang dititip baik harta, uang maupun pesan atau amanah. Jadi wadi`ah titipan atau simpanan.  Para ulama pikih berbeda pendapat dalam penyampaian defenisi ini karena ada beberapa hukum yang berkenaan dengan wadi`ah itu seperti, Apabila sipenerima wadi`ah ini meminta imbalan maka ia disebut TAWKIL atau hanya sekedar menitip.
            Pengertian wadi`ah menurut Syafii Antonio (1999) adalah titipan murni dari satu pihak kepihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja sipenitip mengkehendaki.
Menurut Bank Indonesia (1999) adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan barang/uang.

C. DASAR HUKUM

 Wadi`ah diterapkan mempunyai landasan hukum yang kuat yaitu dalam :
Al-Qur`nul Karim Suroh An-Nisa` : 58
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,

Kemudian dalam Suroh Al Baqarah : 283
 “…………. akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; …”.

Dalam Al-Hadits lebih lanjut yaitu :
Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan janganlah membalasnya khianat kepada orang yang menghianatimu.” (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi).
Kemudian, dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tiada bersuci.”(H.R Thabrani)
Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau mempunyai (tanggung jawab) titipan.  Ketika beliau akan berangkat hijrah, beliau menyerahkannya kepada Ummu `Aiman dan ia (Ummu `Aiman) menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk menyerahkannya kepada yang berhak.”   

Dalam dasar hukum yang lain menerangkan yaitu Ijma` ialah para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan Ijma` (konsensus) terhadap legitimasi Al Wadi`ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini, seperti dikutip oleh:
Dr. Azzuhaily dalam al-Fiqih al-Islami wa adillatuhu dalam kitab Al-Mughni Wa Syarh Kabir Li Ibni Qudhamah dan Mubsuth Li Imam Sarakhsy.
Dr. Hasan Abdullah Amin dalam al Wada`i  al Masharifah an Maqdiyah wa Istitsmariha fi al Islam hal.  23 – 31
Syafii Antonio dalam Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Jakarta GIP 2001) hal 35.
Kemudian berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
Demikian juga tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat dibenarkan berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah

D. BATASAN DAN JENIS WADI`AH

        Transaksi wadi`ah termasuk akad Wakalah (diwakilkan) yaitu penitip aset (barang/jasa) mewakilkan kepada penerima titipan untuk menjaganya ia tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan barang/uang tersebut untuk keperluan pribadi baik konsumtif maupun produktif, karena itu adalah pelanggaran sebab barang/uang itu masih milik mudi` (penitip).  Dilihat dari segi prakteknya ada beberapa bentuk wadi`ah yaitu :

1.  WADI`AH YAD AL AMANAH 

Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima tidak diperkenankan penggunakan barang/uang tersebut dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kelalaian yang bukan disebabkan atas kelalaian penerima titipan dan faktor-faktor diluar batas kemampuannya.

2.  WADI`AH TAD ADH-DHAMANAH

Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa ijin pemilik barang/uang, dapat memanfaatkannya dan bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan tersebut.
       Wadi`ah dalam presfektif pelaksanaan perbankan islam hampir bersamaan dengan al-qardh yaitu pemberian harta atas dasar sosial untuk dimanfaatkan dan harus dibayar dengan sejenisnya.  Juga hampir sama dengan al-iddikhar yakni menyisihkan sebahagian dari pemasukan untuk disimpan dengan tujuan investasi.  Keduanya sama-sama akad tabarru yang jadi perbedaan terdapat pada orang yang terlibat didalmnya dimana dalam wadi`ah pemberi jasa adalah mudi`, sedangkan dalam al-qardh pemberi jasa adalah muqridh (pemberi pinjaman).

E. JENIS BARANG YANG DI WADI`AHKAN

Dalam kehidupan kita masa sekarang ini bahkan mungkin sejak adanya bank kompensional kita mungkin hanya mengenal tabungan/wadi`ah itu hanya berbentuk uang, tapi sebenarnya tidak, masih banyak lagi barang yang bisa kita wadi`ahkan seperti :
1)      Harta benda, yaitu biasanya harta yang bergerak, dalam bank konvensional tempat penyimpanannya dikenal dengan Safety Box sutu tempat/kotak dimana nasabah bisa menyimpan barang apa saja kedalam kotak tersebut.
2)      Uang, jelas sebagaimana yang telah kita lakukan pada umumnya.
3)      Dokumen (Saham, Obligasi, Bilyet giro, Surat perjanjian Mudhorobah dll)
4)      Barang berharga lainnya (surat tanah, surat wasiat dll yang dianggap berharga mempunyai nilai uang) 

F.  RUKUN WADI`AH

Rukun wadi`ah adalah hal-hal yang terkait atau yang harus ada didalamnya yang menyebabkan terjadinya Akad Wadi`ah yaitu :
Barang/Uang yang di Wadi`ahkan dalam keadaan jelas dan baik.
1) Ada Muwaddi` yang bertindak sebagai pemilik barang/uang sekaligus yang menitipkannya/menyerahkan.
2)      Ada Mustawda` yang bertindak sebagai penerima simpanan atau yang memberikan pelayanan jasa custodian.
3)      Kemudian diakhiri dengan Ijab Qabul (Sighat), dalam perbankan biasanya ditandai dengan penanda tanganan surat/buku tanda bukti penyimpanan.
Dalam perbankan Syari`ah tanpa salah satu darinya maka proses Wadi`ah itu tidak berjalan/terjadi/sah.

G. BATASAN-BATASAN DALAM MENJAGA WADI`AH (TITIPAN)

Standar batasan-batasan dalam menjaga barang titipan biasanya disesuaikan dengan jenis akadnya dan sebelum akad diikrarkan batasan-batasan ini harus diperjelas seperti al-wadi`ah bighar al- `ajr (wadi`ah tanpa jasa) yaitu wadi` tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan barang yang yang bukan karena kelalaiannya dan ia harus menjaga barang tersebut sebagaimana barangnya sendiri.  Al-wadi`ah bi `ajr (wadi`ah dengan jasa) ialah wadi` hanya menjaga barang titipan sesuai dengan yang diperjanjikan tanpa harus melakukanseperti halnya tradisi masyarakat.
Kecerobohan/kelalaian (tagshir) dari pihak penerima titipan itu biasa terjadi dan sering terjadi.  Adapun kelalaian itu banyak ragamnya namun yang biasa terjadi ialah  menjaga titipan tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh mudi`.  Ini biasa terjadi pada wadi`ah bi `ajr, namun bila wadi` lalai dari yang diamanatkan maka wadi` harusbertangggung jawab terhadap segala kerusakan barang titipan tadi.  Kesalahan yang lain membawa barang titipan bepergian (safar) tanpa ada sebelumnya pembolehan dari mudi`, maka wadi` harus bertanggung jawab atas kehilangan barang tersebut, dalam hal ini wadi`sedang tidak bepergian.  Apabila wadi` menerima wadi`ah sedang ia dalam bepergian maka wadi` sudah bertanggung jawab terhadap barang tersebut selama ia dalam perjalanan sampai ia pulang.  Seterusnya kesalahan yang lain adalah menitipkan wadi`ah kepada orang lain yang bukan karena udzur, tidak melindungi barang titipan dari hal-hal yang merusak atau hilang maka penerima titipan harus mengganti dengan yang sejenis atau sama nilainya (qima)
Ta`adli hampir sama dengan taqshir bedanya ialah taqshir adalah kelalaian penerima titipan karena ia tidak mematuhi akad wadi`ah sedangkan ta`addli adalah setiap perilaku yang bertentangan dengan penjagaan barang, diantara bentuk taqshir ialah menghilangkan barang dengan sengaja, memanfaatkan barang titipan (mengkonsumsi, menyewakan, meminjamkan dan menginvestasikan)

H. APLIKASI DALAM PERBANKAN

Keynes mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang karena : Transaksi, Cadangan dan Investasi, sehingga perbankan menyesuaikannya dengan giro, deposito dan tabungan.  Sementara itu pada bank syariah dalam penghimpunan dananya selain bersumber dari modal dasar juga melalui produk tunggal yaitu wadi`ah (tabungan) namun dalam prakteknya setiap bank berbeda, ada yang seperti giro ada yang seperti deposito.   Dilihat dari sunber modal yang terbesar selain modal dasar tadi maka wadi`ah dapat dibagi kedalam, Wadi`ah Jariyah/Tahta Thalab dan Wadi`ah Iddikhariyah/Al-Taufir keduanya termasuk kedalam TITIPAN yang sifatnya biasa.   
Menurut Antonio kedua simpanan ini mempunyai karakteristik yakni harta /uang yang di titipkan boleh dimanfaatkan pihak bank boleh memberikan imbalan berdasarkan kewenangan menajemennya tanpa ada perjanjian sebelumnya dan simpanan ini dalam perbankan dapat disamakan dengan giro dan tabungan
Wadi`ah Istitsmariyah (TITIPAN INVESTASI).
 seperti halnya wadi`ah yang terbagi atas dua jenis, maka titipan investasi inipun terbagi atas dua bahagian juga yaitu :
General Investment (investasi umum) dan Special Investment (investasi khusus).  Kedua jenis investasi ini mempunyai perbedaan yang terletak pada  Shahib Al-Malnya dalam praktek penginvestasiannya.
 Sesuai dengan pembagian wadi’ah di atas, maka wadi’ah yad al- amanah, pihak yang menerima titipan tidak boleh mengunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang ditipkan, tetapi harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan. Dengan demikian si penitip tidak akan mendapatkan keuntungan dari titipannya, bahkan dia dibebankan memberikan biaya penitipan, sebagai jasa bagi pihak perbankan



                                                                                                                                                                  Adapun wadi’ah dalam bentuk yad adh-dhamanah pihak bank dapat memanfaatkan danmenggunakan titipan tersebut, sehingga semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian juga bank adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian). Sebagai imbalan bagi si penitip, ia akan mendapatkan jaminan keamanan terhadap titipannya.Tapi walaupun  demikian pihak si penerima titipan yang telah menggunakan barang titipan tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditettapkan dalam nominal
persentase secara advance.
Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, yang menyatakan bahwa ketentuan umum Giro berdasarkan Wadi’ah ialah:
1.       Bersifat titipan,
2.      Titipan bisa diambil kapan saja (on call), dan
3.    Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Demikian juga dalam bentuk tabungan, bahwa ketentuan umum tabungan berdasarkan Wadi’ah adalah
1.      Bersifat simpanan,
2.      Simpanan bias diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan,
3.      Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.(lihat Fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000.)
Tetapi dewasa ini, banyak bank Islam yang telah berhasil mengombinasikan prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Akibatnya pihak bank dapat menetapkan besarnya bonus yang diterima oleh penitip dengan menetapkan persentase.



DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, Jakarta:Gema Insani, 2001.
Firdaus, NH, Muhammad, dkk., Fatwa-Fatwa Ekonomi Syari’ah Kontemporer, Jakrta: Renaisan, 2005.
____________, Cara Mudah Memahami Akad-akad Syari’ah, Jakarta: Renaisan, 2005
Rivai, Veithzal, dkk.,Bank and Financial Institution Management Conventional &
Sharia Syistem, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007
Shalahuddin Lc, dkk., Produk-produk Jasa Bank Islam Teori dan Praktek, Jakarta:
Pusat Kajian Ekonomi Islam, 2004