A. Pengertian Gadai (rahn)
Dalam istilah bahasa arab, gadai di istilahkan dengan rahndan
dapat juga di namai al habsu {Pasaribu, 1996:139). Secara etimologis,
arti rahn adalah tetap dan lama, sedangkan al-habsuberarti penahanan
terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat di jadikan sebagai pembayaran
dari barang tersebut (Syafe’i,2000:159).
Sedangkan menurut Sabiq (1987 :139), rahnadalah menjadikan
barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan
hutang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil sebagian manfaat
barangnya itu. Pengertian itu di dasarkan kepada praktek bahwa apabila
seseorang ingin berhutang kepada orang lain, ia menjadikan barang miliknya baik
berupa barang tak bergerak atau berupa barang ternak berada di bawah penguasaan
pemberi pinjaman sampai penerima pinjaman melunasi hutangnya.
`Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam
kitab Al Mugni adalah sesuatu benda yang di jadikan kepercayaan dari suatu
hutang untuk dipenuhi dari hargannya, apabila yang berhutang tidak sanggup
membayarnya dari yang berpiutang. Sedangkan Imam Abu Zakaria al Anshary dalam
kitabnya Fathul Wahab mendefisikan rahn adalah menjadikan benda yang
bersifat harta benda sebagai kepercayaan dari suatu yang dapat di bayarkan.dari
harta benda itu jika utang itu tidak dibayar (Sudarsono, 2003: 157).
Dari pengertian-pengertian di atas dapat dismpulkan bahwa
pengertian rahn adalah menahan harta salah satu milik si peminjam sebagai
jaminan atas pinjaman yang diterimanya.
B. Landasan Syariah
Boleh tidaknya transaksi gadai menurut Islam diatur dalam
Al-Qur’an, sunnah dan ijtihad:
1. Al Qur’an
Q.S. Al Baqarah : 283
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). (Q.S. Al
Baqarah :283)
[180] barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama
lain tidak percaya mempercayai.
Ayat tersebut menjelaskan “ barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang)”. Dalam dunia finansial, barang tanggungan bisa
dikenal sebagai jaminan/collateral atau objek pegadaian.
2. Assunah
“Dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah membeli makanan dari seorang
Yahudi dan menjaminkan kepadanya baju besi”.(H.R. Bukhari)
Menurut kesepakatan ahli fiqh, peristiwa Rasulullah saw, me-rahn
kan baju besinya itu adalah kasus rahn pertama dalam Islam dan dilakukan
sendiri oleh Rasulullah saw.
Dari Abu Hurairah r.a. Nabi Muhammad SAW bersabda:“tidak terlepas
kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh
manfaat dan menanggung resikonya”. (H.R. Asy’Syafii, al Daruquthni dan Ibnu
Majah).
3. Ijtihad
Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga
berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini.
Jumhur ulama berpendapat bahwa disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun
waktu bepergian, berargumentasi kepada perbuatan Rasulullah SAW terhadap
riwayat hadis tentang orang yahudi tersebut di Madinah. Adapun keadaan dalam
perjalanan seperti ditentukan dalam QS Al Baqarah: 283, karena melihat
kebiasaan dimana pada umumnya rahn dilakukan pada waktu bepergian (Sayyid
Sabiq, 1987: 141). Adh-Dhahak dan penganut madzhab Az-Zahri berpendapat bahwa
rahn tidak disyariatkan kecuali pada waktu bepergian.
Asy-Syafi’I mengatakan Allah tidak menjadikan hokum kecuali dengan
barang berkriteria jelas dalam serah terima. Madzhab Maliki berpendapat, gadai
wajib dengan akad (setelah akad) orang yang
menggadaikan (rahn) dipaksakan untuk menyerahkan borg (jaminan)
untuk dipegang oleh yang memegang gadaian (murtahin).
C. Rukun Gadai Syariah
Dalam menjalankan pegadaian syariah, pegadaian harus memenuhi rukun
gadai syariah. Rukun gadai tersebut antara lain:
1. Ar-Rahin (yang menggadaikan)
Orang yang telah dewasa umurnya, berakal, bisa dipercaya, dan
memiliki barang yang digaadaikan.
2. Al-Murtahin (yang menerima gadai)
Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk
mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai)
3. Al-Marhun (barang yang digadaikan)
Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam
mendapatkan utang.
4. Al-Marhun bih (utang)
Sejumlah dana yang
diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya
tafsiran marhun.
5. Sighat, ijab dan qabul
Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam
melakukan transaksi gadai.
D. Syarat Gadai Syariah
1. Rahin dan Murtahin
Pihak-pihak yang melakukan perjanjian rahn harus megikuti
syarat-syarat berikut kemampuan, yaitu berakal sehat. Kemampuan juga berarti
kelayakan seorang untuk melakukan transaksi pemilikan.
2. Sighat
a. Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan
juga dengan suatu waktu di masa depan.
b. Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian
utang seperti halnya akad jual beli. Maka tidak boleh diikat dengan
syarat tertentu atau dengan suatu waktu di masa depan.
3. Marhun Bih (utang)
c. Harus merupakan hak yang wajib diberikan/diserahkan kepada
pemiliknya.
d. Memungkinkan pemanfaatan. Jika sesuatu menjadi utang tidak
bisa dimanfaatkan, maka tidak sah.
e. Dapat dihitung jumlahnya. Jika tidak dapat diukur
rahn itu tidak sah.
4. Marhun (barang yang digadaikan)
Secara umum barang gadai harus memenuhi beberapa syarat, antara
lain:
a. Dapat diserah terimakan
b. Bernilai dan bermanfaat
c. Milik rahin (orang yang menggadaikan)
d. Jelas bentuk fisiknya
e. Tidak bersatu dengan barang lain
f. Berupa harta yang bernilai
g. Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.
E. Pemanfaatan Barang Gadaian
1. Pemanfaatan rahin atas borg (barang yang digadaikan)
a)
Rahin
tidak boleh memanfaatkan borg tanpa seizing murtahin. Begitu juga sebaliknya
murtahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa izin rahin. (pendapat ulama Hanafiah
dan Hanabilah)
b)
Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa jika borg sudah berada ditangan murtahin, rahin
mempunyai hak memanfaatkan.
c)
ü Ulama
Safi’iah berpendapat bahwa rahin boleh memanfaatkan barang jika tidak
menyebabkan borg berkurang, tidak perlu minta izin,seperti mengendarainya,
menempatinya dan lain-lain. Akan tetapi jika menyebabkan barang berkurang
seprti sawah, kebun, rahn harus meminta izin pada murtahin.
2. Pemanfaatan murtahin atas borg
a)
ü Ulama
Hanafiah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan borg sebab dia
hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya
b) Ulama Malikiyah membolehkan memanfaatkan borg jika
diizinkan oleh rahin atau disyaratkan ketika akad dan barang tersebut barang
yang dapat diperjualbelikan serta ditentukan waktunya secara jelas.
c) Pendapat ulama Hanabilah berbeda dengan jumhur ulama,
mereka berpendapat jika borg berupa hewan, murtahin boleh memanfaatkan seperti
mengendarai atau mengambil susunya sekedar pengganti biaya meskipun tidak
diizinkan oleh rahin. Adapun borg selain hewan tidak boleh dimanfaatkan kecuali
atas ijin rahin.
Menurut Sabiq (1987:141-143), akad gadai bertujuan untuk meminta
kepercayaan dan menjamin hutang, bukan mencari keuntungan dan hasil. Tindakan
memanfaatkan barang tidak ubahnya adalah seperti qiradh yang mengalirkan
manfaat, dan setiap bentuk qiradh mengandung unsur riba, Jika borgnya bukan
berbentuk binatang yang bisa ditunggangi atau diambil susunya. Jika berbentuk
binatang murtahin bisa memanfaatkan sebagai imbalannya atas memberi makan
binatang tersebut. Murtahin dapat mengambil manfaat dari binatang yang dapat
ditunggangi seperti unta, kuda, keledai dan sebagainya. Murtahin juga dapat
mengambil susu sapi, kambing dan lain sebagainya.
F. Implementasi Rahn dalam Perbankan
Kontrak rain dipakai dalam perbankan dalam dua hal :
1. Sebagai produk pelengkap
Rahin dipakai produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahan
(jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti dalam
pembiayaan bai’ al murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai
konsekuensi akad tersebut.
2. Sebagai produk tersendiri
Akad rahin dapat digunakan sebagai alternatif dari pegadaian
konvensional. Bedanya dengan pegadaian biasa, dalam rahn nasabah tidak
dikenakan bunga, yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan,
pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran.
Perbedaan utama antara biaya rahin dan bunga adalah darin sifat
bunga yang bisa terakumulasi dan berlipat ganda, sementara biaya rahin hanya
sekali dan ditetapkan diawal.
G. Manfaat ar Rahn (Gadai)
Manfaat yang diambil oleh bank dari prinsip ar rahn adalah:
1. Menjaga kemungkinan nasabah lalai atau bermain-main dengan
fasilitas pembiayaan yang diberikan oleh bank.
2. Memberikan keamanan bagi segenap penabung dan pemegang
deposito bahwa dananya tidak akan hilang jika nasabah peminjam ingkar atau
lalai karena ada suatu asset /barang jaminan yang dipegang bank.
3. Jika rahn ditetapkan dalam mekanisme pegadaian, maka sudah
barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana terutama di
daerah-daerah.
H. Resiko ar Rahn (gadai)
Adapun resiko yang mungkin terdapat pada rahn apabila penerapan
sebagai produk adalah :
1. resiko tak terbayarnya hutang nasabah (wanprestasi)
2. resiko penurunan nilai asset yang ditahan atau rusak
.
I. Berakhirnya Akad Rahn
Menurut ketentuan syariat bahwa apabila masa yang telah
diperjanjikan untuk pembayaran utang telah terlewati yang berhutang
berkewajiban membayar hutangnya. Namun seandainya yang berhutang tidak punya
kemauan untuk mengembalikan pinjamannya hendaklah ia memberikan izin kepada
pemegang gadai untuk menjual barang gadaian. Apabila izin tersebut tidak
diberikan oleh yang berhutang maka si penerima gadai dapat meminta pertolongan
hakim untuk memaksa orang yang berhutang untuk melunasi hutangnya.
Apabila pemegang gadai telah menjual barang gadaian tersebut dan
ternyata ada kelebihan dari yang seharusnya dibayar oleh yang berhutang, maka
kelebihan itu harus dikembalikan. Sebaliknya sekalipun barang gadaian telah
dijual dan ternyata belum dapat melunasi hutang si penggadai, maka yang
berhutang masih punya kewajiban untuk membayar kekurangannya.
Dapat disimpulkan bahwa akad rahn berakhir dengan hal-hal sebagai
berikut :
1. Barang telah diserahterimakan kepada pemiliknya
2. Rahin membayar hutangnya
3. Dijual dengan perintah hakim atas perintah rahin
4. Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada
persetujuan dari pihak rahin
J. Persamaan dan Perbedaan antara Rahn dan Gadai
Persamaan rahn dan gadai :
1. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang
2. Adanya agunan sebagai jaminan utang
3. Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan
4. Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh pemberi gadai
5. Apabila batas pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan
boleh dijual atau dilelang
Perbedaan rahn dan gadai :
1. Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara suka rela atas dasar
tolong menolong tanpa mencari keuntungan, sedangkan gadai menurut hukum perdata
disamping berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan dengan cara
menarik bunga atas sewa modal yang telah ditetapkan.
2. Dalam hukum perdata hak gadai hanya berlaku pada benda yang
bergerak, sedangkan dalam hukum Islam rahn berlaku pada seluruh harta, baik
harta yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Pada hukum perdata positif
penjaminan dengan harta tidak bergerak seperti tanah, kapal laut dan pesawat
udara disebut dengan hak tanggungan seperti diatur dalam UU no.4 tahun 1996.
3. Di Indonesia penguasaan atas barang yang dijadikan jaminan
dibedakan menjadi gadai dan fidusia. Gadai, penguasaan atas barang yang
dijadikan jaminan diberikan kepada penerima gadai dan hak milik atas barang
yang dijadikan jaminan tetap ada pada pemberi gadai. Sedangkan fidusia,
penguasaan atas barang yang dijadikan jaminan diberikan kepada pemberi gadai
yang juga sebagai pemilik barang yang digadaikan, seperti diatur dalam UU No.42
tahun 1999 tentang fidusia sebagai jaminan.
.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Ghofur Abdul. 2005. Gadai Syariah di Indonesia
Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press.
Antonio, Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik.
Jakarta : Gema Insani Press.
Dahlan, Abdul Aziz. 2001. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta :
PT Ichtiar Baru van Hoeve.
Firdaus, Muhamad. 2005. Mengatasi Masalah dengan Pegadaian
Syariah. Jakarta : Renaisan.
Hasan, M Ali. 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Mas’adi, Ghufron A. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada.
Rifa’I, H Moh. 1978. Fiqh Islam Lengkap. Semarang : CV TOHA
PUTRA.
Sjahdeini, Sutan Remi. 1999. Perbankan Islam dan Kedudukannya
dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta : PT Temprint.
Sudarsono, Heri. 2005. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah
Deskripsi dan Ilustrasi. Yogyakarta : Ekonisia.
Tim Tafsiyah. 2006. Panduan Fiqh Lengkap Jilid 3. Bogor :
Pustaka Ibnu Kasir.
No comments:
Post a Comment