A.
SEKILAS TENTANG BANK SYARI`AH
Sebelum pemakalah mengungkapkan lebih jauh tentang apa isi bahan
pemakalah kali ini yaitu tentang WADI`AH, ada baiknya pemakalah mengupas
sedikit tentang sejarah berdirinya perbankan syari`ah sebagai tempatnya Wadi`ah
sarana ummat islam dalam pengimpestasian dananya sekaligus tempat penyimpanan
dengan alasan keamanan.
Perbankan Syari`ah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan
renaisance Islam modern yaitu NEOREVIVALIS dan MODERNIS. Tujuan utama
dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini adalah sebagai upaya
kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya yang berlandaskan
Al Qur`an dan As Sunnah.
Bank Syari’ah pertama kali muncul pada tahun 1963 sebagai pilot
project dalam bentuk bank tabungan pedesaan di kota kecil Mit Ghamr, Mesir.
Percobaan berikutnya terjadi di Pakistan pada tahun 1965 dalam bentuk koperasi.
Upaya awal penerapan sistem profit dan los sharing (dalam perbankan syari1ah) adalah yang pertama di Pakistan pada awal bulan Juli tahun 1979. Tahun 1979-1980 Pakistan mensosialisasikan skema pinjam tanpa bunga kepada Petani dan Nelayan. Tahun 1981 mulai beroperasi 7000 cabang Bank Komersial Nasional dengan menggunakan sistem syari`ah, dan pada awal tahun 1985 seluruh Perbankan konvensional Pakistan di konversi dengan peraturan baru yaitu Sistem Perbankan Syari`ah.
Upaya awal penerapan sistem profit dan los sharing (dalam perbankan syari1ah) adalah yang pertama di Pakistan pada awal bulan Juli tahun 1979. Tahun 1979-1980 Pakistan mensosialisasikan skema pinjam tanpa bunga kepada Petani dan Nelayan. Tahun 1981 mulai beroperasi 7000 cabang Bank Komersial Nasional dengan menggunakan sistem syari`ah, dan pada awal tahun 1985 seluruh Perbankan konvensional Pakistan di konversi dengan peraturan baru yaitu Sistem Perbankan Syari`ah.
Di Asia Tenggara sistem perbankan Syari`ah dipelopori oleh Malaysia
dengan BIMB (Bank Islam Malaysia Berhad), berdiri tahun 1983 dan akhir tahun
1999 BIMB memiliki +-70 cabang di Malaysia. Sebelumnya telah dirintis
perbankan syari`ah pada dekade 1960 dan beroperasi sebagai RURAL SOCIAL BANK
dengan nama MIT GHAMR BANK oleh Prof. Dr. Ahmad Najjar, walaupun kecil namun
telah mampu memicu para menlu Negara-negara Islam khususnya anggota OKI untuk
melakukan hal yang sama dan telah terjadi beberapa pertemuan, diawali di
Pakistan Desember 1970. Di Benghaji Libya Maret 1973 kembali diagendakan
pada sidang menlu Oki yang khusus menangani ekonomi dan keuangan, didukung lagi
oleh negara-negara Islam penghasil minyak yang mengadakan pertemuan di Jeddah
Juli 1973.
Bulan Mei 1974 Negara-negara Islam dan negara OKI kembali
mengadakan pertemuan tentang Bank Pembangunan Islam atau Islamic Depelopment
dan telah-sampai pada penetapan AD/ARTnya, akhirnya di Jeddah 1975 oleh sidang
Mentri Keuangan OKI menyetujui pendirian Bank Pembangunan Islamic (Islamic
Developmen Bank (IDB) dengan anggota, semua anggota OKI dengan modal awal Rp 2
Miliar Dinar Islam.
Perkembangan Bank Syari`ah di negara Arab dan di Malaysia sangat
berpengaruh ke Indonesia. Awal periode1980-an, mulailah dilakukan diskusi
oleh tokoh-tokoh seperti : Karnaen, A. Perwataadmadja, M. Dawam Rahardjo, A.M.
Saefuddin, M. Amien Azis dan dilakukan uji coba dalam bentuk bank dengan
mendirikan BAITUT TAMWIL SALMAN di Bandung dan bentuk koperasi didirikan koperasi
RIDHO GUSTI di Jakarta.
Tahun 1990 diadakan pembahasan lebih khusus tentang bank syari`ah
oleh MUI di Cisarua Bogor Jawa Barat dan dilanjutkan pada Munas Mui ke IV di
Hotel Sahid Jaya Jakarta tanggal 22 – 25 Agustus 1990 dengan hasil membentuk
tim untuk mendirikan Bank Islam Indonesia. Tanggal 1 November 1991 ditanda
tanganilah akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia dengan saham 84 miliar
rupiah. 1 Mei 1991 Bank Muamalat Indonesia beroperasi setelah Presiden
menambah saham Bank Muamalat Indonesia menjadi Rp 106 126 382 000,00
diwaktu acara silaturrahmi tanggal 3 November 1991 di Bogor. Semenjak
beroperasinya hingga September 1999 BMI telah memiliki 45 Autlet yang tersebar
di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan dan Makasar.
Bank Syari`ah Mandiri (BSM) adalah bank milik pemerintah yang
pertama kali menerapkan landasan operasionalnya dengan landasan syari`ah.
Itu dilakukan setelah bergulirnya masa reformasi dan telah dikeluarkannya UU.
No. 10 Thn 1998 tentang landasan hukum dan jenis usaha. Ada beberapa
jenis prodak bank syari`h pada waktu itu yang disosialisasikan namun yang
paling menonjol adalah Wadi`ah dan Mudharobah. Jadi yang akan dibahas
pemakalah pada makalah ini adalah WADI`AH (Depository)
B.
PENGERTIAN WADIAH
Sebelum penulis melanjutkan pembahasan tentang pengertian wadi’ah,
perlu disampaikan bahwa kegiatan penghimpunan dana bank syari’ah mempunyai
beberapa produk, yakni: Wadi’ah dalam bentuk giro maupun tabungan, Qardh atau
pinjaman kebajikan, dan Mudharabah atau bagi hasil dalam bentuk Deposito. Akan
tetapi karena terbatasnya waktu, pada kesempatan ini penulis hanya mengulas
tentang wadi’ah.
Pengertian
Wadi`ah menurut bahasa adalah berasal dan akar kata Wada`a yang berarti
meninggalkan atau titip. Sesuatu yang dititip baik harta, uang maupun
pesan atau amanah. Jadi wadi`ah titipan atau simpanan. Para ulama pikih
berbeda pendapat dalam penyampaian defenisi ini karena ada beberapa hukum yang
berkenaan dengan wadi`ah itu seperti, Apabila sipenerima wadi`ah ini meminta
imbalan maka ia disebut TAWKIL atau hanya sekedar menitip.
Pengertian wadi`ah menurut Syafii Antonio (1999) adalah titipan murni dari satu pihak kepihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja sipenitip mengkehendaki.
Menurut Bank Indonesia (1999) adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan barang/uang.
Pengertian wadi`ah menurut Syafii Antonio (1999) adalah titipan murni dari satu pihak kepihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja sipenitip mengkehendaki.
Menurut Bank Indonesia (1999) adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan barang/uang.
C.
DASAR HUKUM
Wadi`ah diterapkan mempunyai
landasan hukum yang kuat yaitu dalam :
Al-Qur`nul Karim Suroh An-Nisa` : 58
Al-Qur`nul Karim Suroh An-Nisa` : 58
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya,
Kemudian dalam Suroh Al Baqarah : 283
“…………. akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; …”.
Dalam
Al-Hadits lebih lanjut yaitu :
Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan janganlah
membalasnya khianat kepada orang yang menghianatimu.” (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi).
Kemudian, dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah
bersabda: “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah,
tiada shalat bagi yang tiada bersuci.”(H.R Thabrani)
Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau mempunyai
(tanggung jawab) titipan. Ketika beliau akan berangkat hijrah, beliau
menyerahkannya kepada Ummu `Aiman dan ia (Ummu `Aiman) menyuruh Ali bin Abi
Thalib untuk menyerahkannya kepada yang berhak.”
Dalam dasar hukum yang lain menerangkan yaitu Ijma` ialah para
tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan Ijma` (konsensus) terhadap
legitimasi Al Wadi`ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini, seperti
dikutip oleh:
Dr.
Azzuhaily dalam al-Fiqih al-Islami wa adillatuhu dalam kitab Al-Mughni Wa Syarh
Kabir Li Ibni Qudhamah dan Mubsuth Li Imam Sarakhsy.
Dr.
Hasan Abdullah Amin dalam al Wada`i al Masharifah an Maqdiyah wa
Istitsmariha fi al Islam hal. 23 – 31
Syafii
Antonio dalam Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Jakarta GIP 2001) hal 35.
Kemudian berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No:
01/DSN-MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara syari’ah,
yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
Demikian juga tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat dibenarkan berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah
Demikian juga tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat dibenarkan berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah
D.
BATASAN DAN JENIS WADI`AH
Transaksi wadi`ah termasuk akad Wakalah (diwakilkan) yaitu penitip aset (barang/jasa) mewakilkan kepada penerima titipan untuk menjaganya ia tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan barang/uang tersebut untuk keperluan pribadi baik konsumtif maupun produktif, karena itu adalah pelanggaran sebab barang/uang itu masih milik mudi` (penitip). Dilihat dari segi prakteknya ada beberapa bentuk wadi`ah yaitu :
1. WADI`AH YAD AL AMANAH
Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima tidak
diperkenankan penggunakan barang/uang tersebut dan tidak bertanggung jawab atas
kerusakan atau kelalaian yang bukan disebabkan atas kelalaian penerima titipan
dan faktor-faktor diluar batas kemampuannya.
2.
WADI`AH TAD ADH-DHAMANAH
Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan
dengan atau tanpa ijin pemilik barang/uang, dapat memanfaatkannya dan
bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan
tersebut.
Wadi`ah dalam presfektif pelaksanaan perbankan islam hampir bersamaan dengan al-qardh yaitu pemberian harta atas dasar sosial untuk dimanfaatkan dan harus dibayar dengan sejenisnya. Juga hampir sama dengan al-iddikhar yakni menyisihkan sebahagian dari pemasukan untuk disimpan dengan tujuan investasi. Keduanya sama-sama akad tabarru yang jadi perbedaan terdapat pada orang yang terlibat didalmnya dimana dalam wadi`ah pemberi jasa adalah mudi`, sedangkan dalam al-qardh pemberi jasa adalah muqridh (pemberi pinjaman).
Wadi`ah dalam presfektif pelaksanaan perbankan islam hampir bersamaan dengan al-qardh yaitu pemberian harta atas dasar sosial untuk dimanfaatkan dan harus dibayar dengan sejenisnya. Juga hampir sama dengan al-iddikhar yakni menyisihkan sebahagian dari pemasukan untuk disimpan dengan tujuan investasi. Keduanya sama-sama akad tabarru yang jadi perbedaan terdapat pada orang yang terlibat didalmnya dimana dalam wadi`ah pemberi jasa adalah mudi`, sedangkan dalam al-qardh pemberi jasa adalah muqridh (pemberi pinjaman).
E.
JENIS BARANG YANG DI WADI`AHKAN
Dalam kehidupan kita masa sekarang ini bahkan mungkin sejak adanya
bank kompensional kita mungkin hanya mengenal tabungan/wadi`ah itu hanya
berbentuk uang, tapi sebenarnya tidak, masih banyak lagi barang yang bisa kita
wadi`ahkan seperti :
1)
Harta
benda, yaitu biasanya harta yang bergerak, dalam bank konvensional tempat
penyimpanannya dikenal dengan Safety Box sutu tempat/kotak dimana nasabah bisa
menyimpan barang apa saja kedalam kotak tersebut.
2)
Uang,
jelas sebagaimana yang telah kita lakukan pada umumnya.
3)
Dokumen
(Saham, Obligasi, Bilyet giro, Surat perjanjian Mudhorobah dll)
4)
Barang
berharga lainnya (surat tanah, surat wasiat dll yang dianggap berharga
mempunyai nilai uang)
F.
RUKUN WADI`AH
Rukun wadi`ah adalah hal-hal yang terkait atau yang harus ada
didalamnya yang menyebabkan terjadinya Akad Wadi`ah yaitu :
Barang/Uang
yang di Wadi`ahkan dalam keadaan jelas dan baik.
1) Ada
Muwaddi` yang bertindak sebagai pemilik barang/uang sekaligus yang
menitipkannya/menyerahkan.
2)
Ada
Mustawda` yang bertindak sebagai penerima simpanan atau yang memberikan
pelayanan jasa custodian.
3)
Kemudian
diakhiri dengan Ijab Qabul (Sighat), dalam perbankan biasanya ditandai dengan
penanda tanganan surat/buku tanda bukti penyimpanan.
Dalam
perbankan Syari`ah tanpa salah satu darinya maka proses Wadi`ah itu tidak
berjalan/terjadi/sah.
G.
BATASAN-BATASAN DALAM MENJAGA WADI`AH (TITIPAN)
Standar batasan-batasan dalam menjaga barang titipan biasanya disesuaikan dengan jenis akadnya dan sebelum akad diikrarkan batasan-batasan ini harus diperjelas seperti al-wadi`ah bighar al- `ajr (wadi`ah tanpa jasa) yaitu wadi` tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan barang yang yang bukan karena kelalaiannya dan ia harus menjaga barang tersebut sebagaimana barangnya sendiri. Al-wadi`ah bi `ajr (wadi`ah dengan jasa) ialah wadi` hanya menjaga barang titipan sesuai dengan yang diperjanjikan tanpa harus melakukanseperti halnya tradisi masyarakat.
Kecerobohan/kelalaian (tagshir) dari pihak penerima titipan itu
biasa terjadi dan sering terjadi. Adapun kelalaian itu banyak ragamnya
namun yang biasa terjadi ialah menjaga titipan tidak sesuai dengan yang
diamanatkan oleh mudi`. Ini biasa terjadi pada wadi`ah bi `ajr, namun
bila wadi` lalai dari yang diamanatkan maka wadi` harusbertangggung jawab
terhadap segala kerusakan barang titipan tadi. Kesalahan yang lain
membawa barang titipan bepergian (safar) tanpa ada sebelumnya pembolehan dari
mudi`, maka wadi` harus bertanggung jawab atas kehilangan barang tersebut,
dalam hal ini wadi`sedang tidak bepergian. Apabila wadi` menerima wadi`ah
sedang ia dalam bepergian maka wadi` sudah bertanggung jawab terhadap barang
tersebut selama ia dalam perjalanan sampai ia pulang. Seterusnya
kesalahan yang lain adalah menitipkan wadi`ah kepada orang lain yang bukan
karena udzur, tidak melindungi barang titipan dari hal-hal yang merusak atau
hilang maka penerima titipan harus mengganti dengan yang sejenis atau sama
nilainya (qima)
Ta`adli hampir sama dengan taqshir bedanya ialah taqshir adalah kelalaian penerima titipan karena ia tidak mematuhi akad wadi`ah sedangkan ta`addli adalah setiap perilaku yang bertentangan dengan penjagaan barang, diantara bentuk taqshir ialah menghilangkan barang dengan sengaja, memanfaatkan barang titipan (mengkonsumsi, menyewakan, meminjamkan dan menginvestasikan)
Ta`adli hampir sama dengan taqshir bedanya ialah taqshir adalah kelalaian penerima titipan karena ia tidak mematuhi akad wadi`ah sedangkan ta`addli adalah setiap perilaku yang bertentangan dengan penjagaan barang, diantara bentuk taqshir ialah menghilangkan barang dengan sengaja, memanfaatkan barang titipan (mengkonsumsi, menyewakan, meminjamkan dan menginvestasikan)
H.
APLIKASI DALAM PERBANKAN
Keynes mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang karena :
Transaksi, Cadangan dan Investasi, sehingga perbankan menyesuaikannya dengan
giro, deposito dan tabungan. Sementara itu pada bank syariah dalam
penghimpunan dananya selain bersumber dari modal dasar juga melalui produk
tunggal yaitu wadi`ah (tabungan) namun dalam prakteknya setiap bank berbeda,
ada yang seperti giro ada yang seperti deposito. Dilihat dari
sunber modal yang terbesar selain modal dasar tadi maka wadi`ah dapat dibagi
kedalam, Wadi`ah Jariyah/Tahta Thalab dan Wadi`ah Iddikhariyah/Al-Taufir
keduanya termasuk kedalam TITIPAN yang sifatnya biasa.
Menurut Antonio kedua simpanan ini mempunyai karakteristik yakni
harta /uang yang di titipkan boleh dimanfaatkan pihak bank
boleh memberikan imbalan berdasarkan kewenangan
menajemennya tanpa ada perjanjian sebelumnya dan simpanan ini dalam perbankan
dapat disamakan dengan giro dan tabungan
Wadi`ah Istitsmariyah (TITIPAN INVESTASI).
Wadi`ah Istitsmariyah (TITIPAN INVESTASI).
seperti halnya wadi`ah yang
terbagi atas dua jenis, maka titipan investasi inipun terbagi atas dua bahagian
juga yaitu :
General Investment (investasi umum) dan Special Investment
(investasi khusus). Kedua
jenis investasi ini mempunyai perbedaan yang terletak pada Shahib
Al-Malnya dalam praktek penginvestasiannya.
Sesuai dengan pembagian
wadi’ah di atas, maka wadi’ah yad al- amanah, pihak yang menerima titipan tidak
boleh mengunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang ditipkan, tetapi harus
benar-benar menjaganya sesuai kelaziman. Pihak penerima titipan dapat
membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan. Dengan demikian si
penitip tidak akan mendapatkan keuntungan dari titipannya, bahkan dia
dibebankan memberikan biaya penitipan, sebagai jasa bagi pihak perbankan
Adapun
wadi’ah dalam bentuk yad adh-dhamanah pihak bank dapat memanfaatkan
danmenggunakan titipan tersebut, sehingga semua keuntungan yang dihasilkan dari
dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian juga bank adalah penanggung
seluruh kemungkinan kerugian). Sebagai imbalan bagi si penitip, ia akan
mendapatkan jaminan keamanan terhadap titipannya.Tapi walaupun demikian
pihak si penerima titipan yang telah menggunakan barang titipan tersebut, tidak
dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak
disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditettapkan dalam nominal
persentase
secara advance.
Hal
ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000,
yang menyatakan bahwa ketentuan umum Giro berdasarkan Wadi’ah ialah:
1. Bersifat
titipan,
2.
Titipan
bisa diambil kapan saja (on call), dan
3. Tidak
ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat
sukarela dari pihak bank.
Demikian juga dalam bentuk tabungan, bahwa ketentuan umum tabungan
berdasarkan Wadi’ah adalah
1.
Bersifat
simpanan,
2.
Simpanan
bias diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan,
3.
Tidak
ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang
bersifat sukarela dari pihak bank.(lihat Fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000.)
Tetapi dewasa ini, banyak bank Islam yang telah berhasil
mengombinasikan prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Akibatnya
pihak bank dapat menetapkan besarnya bonus yang diterima oleh penitip dengan menetapkan
persentase.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio,
Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, Jakarta:Gema Insani,
2001.
Firdaus,
NH, Muhammad, dkk., Fatwa-Fatwa Ekonomi Syari’ah Kontemporer, Jakrta: Renaisan,
2005.
____________,
Cara Mudah Memahami Akad-akad Syari’ah, Jakarta: Renaisan, 2005
Rivai,
Veithzal, dkk.,Bank and Financial Institution Management Conventional &
Sharia
Syistem, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007
Shalahuddin
Lc, dkk., Produk-produk Jasa Bank Islam Teori dan Praktek, Jakarta:
Pusat
Kajian Ekonomi Islam, 2004
|
No comments:
Post a Comment